Share Online

Senin, 05 Januari 2009


Selalu tidak ada habisnya! Mungkin, kata ini ini tepat terkait kiprah Israel yang cenderung diskriminatif sejak mereka merebut tanah Palestina dengan mendirikan negara Israel pada 1948. Aksi-aksi Zionisme Yahudi ini, sebenarnya bisa dikategorikan sebagai gerakan terorisme.

Definisi terorisme memang tidak ada yang baku hingga hari ini. Beberapa definisi dari Wikipedia Indonesia, bisa kita kutip seperti di bawah ini. Menurut Black’s Law Dictionary, “Terorisme adalah kegiatan yang melibatkan untur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana (Amerika atau negara bagian Amerika), yang jelas dimaksudkan untuk: a). mengintimidasi penduduk sipil. b). mempengaruhi kebijakan pemerintah. c). mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan atau pembunuhan.”

Laqueur (1999), setelah mengkaji lebih dari seratus definisi terorisme, menyimpulkan adanya unsur yang paling menonjol dari definisi-definisi tersebut, yaitu bahwa ciri utama dari terorisme adalah dipergunakannya kekerasan atau ancaman kekerasan. Sementara motivasi politis dalam terorisme dangat bervariasi, karena selain bermotif politis, terorisme seringkali dilakukan karena adanya dorongan fanatisme agama.

AC. Manullang mendefinisikan, “Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekuasaan dari kelompok lain, dipicu antara lain karena adanya pertentangan agama, ideologi, dan etnis serta kesenjangan ekonomi, serta tersumbatnya komunikasi rakyat dengan pemerintah, atau karena adanya paham separatisme dan ideologi fanatisme.”

Jika dilihat dari tiga definisi ini, maka tindakan kaum zionis dalam upaya merebut tanah Palestina dengan mengusir, menyiksa, hingga membantai warga sipil di Palestina, maka hal itu termasuk dalam kategori terorisme. Lantas, bagaimana dengan perjuangan orang Palestina atas pendudukan Israel ,

apakah juga disebut terorisme?

Ada yang beda di sini antara terorisme dengan perjuangan perlawanan atas penjajahan bangsa lain. Dalam Resolusi PBB Nomor 3103, seperti dikutip dari Haitsam Al-Kailani, dalam buku “Siapa Teroris

Dunia?” salah satu point penting yang ditekankan disitu adalah, “Setiap bentuk perjuangan bangsa yang berada di bawah jajahan kekuatan imperialis, kekuatan asing, dan pemerintahan rasis untuk mewujudkan kemerdekaan dan mempertahankan hak menentukan nasib sendiri adalah perjuangan yang sah dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional.” Dari resolusi ini bisa dipahami bahwa perjuangan bangsa Palestina yang ingin memerdekakan dirinya dari imperialisme Zionisme Israel , tidak termasuk dalam kategori terorisme.

Apa sebenarnya motivasi Israel dalam terorismenya? Setidaknya, ada motivasinya dua:

Pertama, Penjajahan. Untuk kembali ke tanah yang dijanjikan, menurut keyakinan Yahudi tidak dapat dilaksanakan kecuali dipimpin oleh Al-Masih sang juru selamat, bukan dengan gerakan politik seperti zionisme internasional. Inilah penentangan dari golongan Yahudi sendiri ketika ada gerakan untuk kembali ke tanah Palestina lewat organisasi zionis. Akan tetapi, gerakan zionisme tetap bersikukuh untuk kembali ke tanah yang menurut mereka dijanjikan Tuhan kepada mereka. Untuk kembali, berarti perlu kerjasama dengan unsur lain. Di sinilah motif penjajahan kaum zionis.
Pengamat zionisme, Dr. Haitsam Al-Kailani menyebut gerakan imperialisme ini dengan kata

”Imperialisme Pendudukan.” Ia kemudian mendefinisikannya sebagai, ”Memindahkan penduduk negara imperialis ke wilayah jajahan mereka dan membangun koloni-koloni di tempat baru tersebut tanpa memperhatikan hak-hak penduduk asli.” Rencana ini, membuat penduduk asli akan rentan terhadap tindakan terorisme, terutama pengusiran dan pembantaian. Dan, jika mereka tetap tinggal di koloni tersebut, maka mereka akan menerima perlakuan diskriminatif dan rasis tanpa memperdulikan hak-hak menentukan nasib sendiri. Inilah yang terjadi di Palestina ketika zionisme menyerang dan merampas tanah-tanah mereka.

Motivasi imperialisme ini juga didukung oleh Prancis ketika Napoleon Bonaparte melancarkan serangannya ke Mesir dan Syiria (20 April 1799), sekitar 118 tahun sebelum adanya Deklarasi Balfour.

Bonaparte berkata, ”Wahai Bani Israel, wahai bangsa yang terpilih, yang tidak ada kekuatan manapun yang mampu menghapus nama dan keberadaan kalian di muka bumi. Kalian hanya kehilangan tanah leluhur...Prancis menawarkan kepada kalian warisan Israel saat ini juga, di luar berbagai perkiraan yang ada. Wahai para pewaris sah Palestina, kami bangsa yang tidak pernah memperjualbelikan manusia dan negeri...menyeru kalian bukan dengan tujuan menguasai warisan kalian tetapi untuk mengembalikan warisan kalian dengan jaminan, dukungan dan perlindungan penuh kami dari setiap penyusup.”

Motivasi imperialisme kaum zionis ini juga ditegaskan oleh Maxim Roudson dengan ucapannya,

”Pembentukan negara Israel di Palestina adalah salah satu rangkaian gerakan ekspansi besar-besaran yang dilakukan Eropa dan Amerika pada abad ke-19 dan 20 untuk menduduki dan menguasai aspek ekonomi dan politik bangsa-bangsa lain.”
Motivasi ini semakin dikuatkan lagi dengan pernyataan dari tokoh gerakan zionisme sendiri, yaitu

Theodor Herzl yang berkata, ”Kita akan membangun benteng untuk melindungi kepentingan Eropa di Asia yang menjadi benteng peradaban yang kokoh menghadapi barbarisme.” Dari kalimat ini menandakan bahwa zionisme sebagai perpanjangan tangan dari imperialisme, untuk menghadapi bangsa-bangsa Timur adalah sebuah fakta nyata.

Kedua, Rasisme. Mempercayai bahwa ras-nya lebih unggul dari bangsa-bangsa lain di dunia ini adalah salah satu karakter dari gerakan zionis. Ini kita kenal dengan nama rasisme. Hal ini didasarkan pada paham bahwa bangsa lain, selain Yahudi—termasuk orang Arab-Palestina—adalah tergolong kaum ’goyyim’ yang lebih rendah derajatnya dari manusia, dan karenanya menurut kaum Yahudi, kaum ’goyyim’ tidak boleh dan tidak dapat diperlakukan sebagai manusia.
Berdasarkan prinsip rasis ini, menurut Z.A. Maulani (2002), dalam bukunya Zionisme: Gerakan

Menaklukkan Dunia, kaum Yahudi menghalalkan segala cara, termasuk teorisme sebagai modus operandi utama untuk membangun negara Yahudi. Perihal rasisme ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan pernah mengeluarkan Resolusi No. 3379-D/10/11/75 menyatakan bahwa ”Zionisme adalah Gerakan Rasisme.” Resolusi ini dalam perjalanan sejarahnya hanya bisa bertahan selama 15 tahun. Setelah Perang Teluk berakhir pada tahun 1991, atas desakan Amerika Serikat, resolusi tersebut dicabut.

Motivasi keunggulan Yahudi juga diambil dari teori seleksi alam-nya Darwin. Ini dilakukan agar rasisme ini dapat diterima oleh banyak kalangan. Dalam buku Roma dan Jerussalem karya Moses Hess, salah seorang pakar ilmu ras menulis bahwa ras Yahudi adalah ras yang murni dan suci. Dalam buku ini, Hess juga menjelaskan dengan pendekatan ”ilmu tentang manusia dan kebudayaannya” atau antropologi.

Jadi, rencana kembalinya bangsa Yahudi ke tanah Palestina, salah satu motifnya adalah untuk menjaga kemurnian ras Yahudi dalam sebuah tanah yang memang menurut kaum Yahudi telah dijanjikan Tuhan kepada mereka.

Kedua motivasi di atas, kemudian membuahkan aksi-aksi yang malah bisa diketegorikan sebagai tindak terorisme, seperti pembunuhan, diskriminasi dalam pelayanan sosial, air bersih, pendidikan, perumahan, bahkan pembantaian seperti yang terjadi di Shabra dan Shatilla. Artinya bahwa, selama

Israel masih menjajah tanah Palestina yang bukan merupakan haknya, maka negara tersebut masih bisa disebut sebagai tindak terorisme negara. (Yanuardi Syukur, Mahasiswa S2 Politik dan Hubungan Internasional di Timur Tengah, PSTTI Universitas Indonesia, sang_musafir@yahoo.com)
Dikutip Dari Cyber Sabili

0 comments:

Pages

http://warnet-unet.blogspot.com. Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Followers

Blogger Tricks